Sahlan Lamporo.,SH.,MH.,CTA.,C.CLP, selaku Kuasa Hukum PT SPM dan PT SW menjelaskan duduk persoalan agraria yang mereka hadapi kepada wartawan,selasa(16/9).

Infobaru.News Palu– Menanggapi protes warga terhadap tanah Sertipikat Hak Guna Bangunan  (SHGB) PT Sinar Putra Murni (SPM) dan PT Sinar Waluyo (SW), Pihak PT SPM dan PT SW bersama kuasa hukumnya melakukan konferensi pers  pada Selasa (16/9), di rumah makan Raja Kuring kota Palu.

Kuasa Hukum PT SPM dan PT SW  Syahlan Lamporo.,SH.,MH.,CTA.,C.CLP Bersama Direktur PT SPM dan PT SW Abdul Rozak. dalam keterangannya mengatakan, bahwa demo yang dilakukan masyarakat pada  Rabu  (10/9), merupakan hal yang biasa di alam demokrasi saat ini dalam mengeluarkan pendapat.

Namun disini kami ingin menjelaskan terhadap adanya tuntutan pencabutan HGB karena dianggap bahwa PT SPM dan PT SW telah melakukan perampasan tanah milik Masyarakat.

Syahlan menuturkan, bahwa awal dikeluarkannya sertipikat HGB pada tahun 1989, tanah tersebut adalah hutan Kaktus dan tidak ada bukti penguasaan atau kegiatan Masyarakat  dilahan tersebut .

Pada tahun 1989 tanah tersebut belum memiliki  nilai ekonomis dan sosial sehingga tidak ada yang tertarik dengan lahan tersebut. Selain dipenuhi tumbuhan Kaktus dan pohon berduri, lahan tersebut juga merupakan lahan kering.

Masuknya Perseroan di kota Palu sejak tahun 1989, atas permintaan gubernur Sulawesi Tengah  yang kala itu dijabat oleh Abdul Aziz Lamadjido agar pembagunan di kota Palu dapat terlihat  sehingga PT SPM dan PT SW diminta untuk menginvestasikan dananya di kota Palu dengan melakukan pembagunan property .

Saat itu pihak Perusahaan menerima keinginan gubernur dengan membagunan perumahan BTN pertama di Sulawesi Tengah khusus kota Palu yang dikenal dengan nama BTN Korpri Bumi Roviga Tondo.

Tuntutan Masyarakat ini terjadi karena kurang pahamnya walikota Palu Hadianto Rasid tentang UU Agraria dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pemberian tanah melalaui pengusulan Program Pendaftaran Tanah Sistematis (PTSL) terhadap warga masyarakat yang tidak memilik hubungan  hukum dengan tanah Perseroan.ahlan Lamporo, selaku Kuasa Hukum PT SPM dan PT SW menjelaskan duduk persoalan agraria yang mereka hadapi kepada wartawan

“Masyarakat yang melakukan tuntutan tersebut tidak memiliki alas hak (surat) dan bukti  penguasaan fisik dilokasi HGB tersebut, sehingga tidak ada hubungan hukum mereka dengan tanah tersebut”,beber Syahlan yang merupakan pengacara kota Palu yang sudah banyak menangani  perkara lintas provinsi.

Selain pemberian tanah untuk Masyarakat, Hadiyanto juga membuat perencanaan di Lokasi HGB seluas 45 hektar sebagai kota satelit, keinginan tersebut mendapat jawaban dari Menteri ATR dengan nomor AT.02/636/V2021 yang ditandatangani Sofyan Djalil mengatakan, Bahwa untuk kebutuhan tanah kota satelit selain peruntukan Huntab, pemerintah kota dalam pengadaan tanahnya harus mengikuti UU nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan melakukan Ganti rugi bagi pemegang HGB.

Menyinggung tentang berakhirnya HGB, Syahlan menjelaskan bahwa berakhirnya HGB tidak serta merta menghilangkan hak keperdataan Perseroan terhadap tanah tersebut. Karena dalam PP nomor 18 tahun 2021 sangat jelas mengatakan tanah yang telah berakhir jangka waktunya  akan  kembali dikuasai negara jika pihak pemegang hak lama tidak melakukan perpanjangan atau pemanfaatan Kembali tanah tersebut. Selain itu juga dalam PP tersebut, kepada pemegang hak lama HGB yang masih melakukan perpanjangan tetap diberikan hak prioritas dalam proses perpanjangannya.

Sementara itu Direktur PT SPM dan PT SW Abdul Rozak menambahkan, bahwa dalam PP nomor 18 tahun 2021, pasal 2 ayat (1) dan (3) huruf  g secara eksplisit mengatakan ayat (1) Tanah Negara atau Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara merupakan seluruh bidang Tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh pihak lain. Ayat (3) huruf g Tanah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: g. Tanah hak yang berakhir jangka waktunya serta tidak dimohon Perpanjangan dan/atau Pembaruan;

Walikota juga dinilai tidak memahami UU angraria bahwa berakhirnya jangka waktu sertipikat HGB tidak serta merta menghilangkan hak keperdataan, dengan adanya hak prioritas  kepada Perseroan selama tanah tersebut masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.

Apalagi saat ini Perseroan sedang melakukan Pembangunan 180 unit rumah di Lokasi sertipikat HGB sehingga membuktikan bahwa lahan tersebut masih di manfaatkan sesuai dengan peruntukannya.

Foto Pembangunan Perumahan PT SPM di Lokasi HGB

Dalam perkara Perseroan mengingatkan kepada pemerintah kota palu untuk tidak mengambil Langkah-langkah tanpa aturan hukum terhadap tanah HGB, karena jika itu dilakukan maka sebagai negara hukum kami akan mengambil Langkah-langkah hukum terhadap hal tersebut, baik pidana maupun perdata., tutup Syahlan yang juga Dekan hukum pada Universitas Abdul Aziz Lamadjido.(IB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *