penasehat Hukum PT SPM dan PT SW, Syahlan Lamporo.,SH.,MH.

Infobaru.News_Palu . SK (Surat  Keputusan)  PTSL  (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap ) yang dikeluarkan bagi 1000 Masyarakat  tondo  terhadap  tanah  bersertipikat  SHGB  PT Sinar Putra Murni (PT SPM) dan PT Sinar Waluyo (PT SW) oleh walikota palu walikota Palu Hadiyanto Rasid, mendapat tanggapan dari penasehat Hukum PT SPM dan PT SW, Syahlan Lamporo.,SH.,MH.

Kepada media ini Syahlan mengatakan bahwa SK PTSL  yang  dikeluarkan  walikota  Palu  kepada  1000 nama anggota Masyarakat  pada tahun 2022, Adalah SK yang kabur dan tidak jelas  dimana titik Lokasi yang dimaksud.

Syahlan menilai bahwa dikeluarkan SK tersebut, Nampak  Hadiyanto  sebagai  walikota  tidak  paham aturan, karena  program  PTSL  itu  Adalah  kewenangan  penuh  Badan  Pertanahan  Nasional  baik pada Tingkat kabupaten dan kota maupun provinsi serta  tanah  negara yang  telah dimiliki secara sah, yang  belum  dilekatkan  dengan  suatu  Hak  atas  Tanah  diatasnya  yaitu  sertipikat.

PTSL Adalah tanah yang sudah dimiliki atau sudah dipunyai masyarakat  secara  sah, bukan tanah yang milik orang lain yang telah memiliki sertipikat. Tanah yang sudah dimiliki oleh Masyarakat bisa dimohonkan haknya (sertipikat), baik melalui sporadic maupun melalui program PTSL, jelasnya.

“Walikota harus  membaca PP nomor 24 tahun 1977 tentang pendaftaran tanah dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/kepala BPN nomor 6 tahun 2018 tentang PTSL”,beber Syahlan.

Seharus walikota sebagai pemerintah daerah dalam mengeluarkan SK hanya untuk menetapkan Lokasi program PTSL  dengan  membentuk  panitia  khusus  Tingkat  kota  dan mendukung  anggaran pembiayaan kegiatan PTSL dari dana APBD, yaitu untuk memberikan bantuan pendanaan  kepada Masyarakat  yang sudah memiliki tanah secara sah namun belum memiliki sertipikat.

Selain itu dalam PTSL tersebut  harus terhadap tanah yang belum bersertipikat atau tanah yang sudah bersertipikat baik  yang belum dipetakan maupun yang sudah di petakan namun tidak sesuai  dengan kondisi lapangan atau terdapat perubahan data fisik  sehingga syarat yang harus dipenuhi Adalah surat-surat alas hak  tanah  atau  riwayat  tanah, SPPT  PBB,  Bukti  Lunas  PBB  dan  bukti penguasaan  fisik  bidang  tanah  dan  berita  acara  kesaksian.

Yang lebih aneh lagi jelas Syahlan, SK PTSL  yang dikeluarkan oleh Hadiyanto  pada  tahun  2022 tersebut, menurut  Hadiyanto  dapat  digunakan  pada  tahun  2025, sementara  PTSL  tersebut  selalu mengacu pada mata anggaran dan program pada tahun tersebut.

“Dari 1000  warga  yang  diberikan  PTSL  tersebut  tidak  ada  satupun yang memenuhi  syarat  tersebut sehingga SK tersebut Nampak akal-akalan walikota sebagai  bentuk pencitraan yang tabrak aturan dan melakukan pembohongan  terhadap  masyarakat”, jelas Syahlan.

Dalam Pasal 22 ayat (2),(3),(4) huruf a dan ayat (5) huruf a dan b  Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/kepala  BPN  nomor  6  tahun  2018  tentang  PTSL :

Ayat (2) “Dalam hal bukti kepemilikan tanah masyarakat tidak  lengkap atau tidak ada sama sekali maka dapat  dilengkapi dan dibuktikan dengan surat pernyataan tertulis tentang pemilikan dan/atau penguasaan fisik  bidang tanah dengan itikad baik oleh yang bersangkutan”,.

Ayat (3) “Unsur itikad baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  terdiri dari kenyataan secara fisik menguasai,  menggunakan, memanfaatkan dan memelihara tanah secara turun temurun dalam waktu tertentu dan/atau memperoleh dengan cara  tidak  melanggar ketentuan  peraturan perundang-undangan”,.

Ayat (4) huruf a “Itikad baik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)  dibuktikan dengan pernyataan pemohon/peserta Ajudikasi PTSL yang menyatakan  :

a.tidak terdapat keberatan dari pihak lain atas tanah  yang dimiliki atau tidak dalam keadaan sengketa;  

Ayat 5 huruf a dan b “Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dibuat dengan ketentuan:

  1. disaksikan paling sedikit oleh 2 (dua) orang saksi  dari lingkungan setempat yang tidak mempunyai  hubungan keluarga dengan yang bersangkutan  sampai derajat kedua, baik dalam kekerabatan  vertikal maupun horizontal, yang menyatakan  bahwa yang bersangkutan adalah benar sebagai pemilik dan yang menguasai bidang tanah tersebut;  dan
  2.  dibuat berdasarkan keterangan yang sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara perdata maupun pidana, dan apabila di kemudian hari terdapat unsur ketidak benaran dalam pernyataannya bukan merupakan tanggung  jawab Panitia Ajudikasi PTSL.

Dari syarat-syarat tersebut, Nampak bahwa SK PTSL yang dikeluarkan Walikota secara hukum tidak memiliki dasar dan nampak sebagai bentuk pencitraan dan terkesan mengajak Masyarakat untuk tidak taat hukum.

Selain program PTSL yang dijanjikan, walikota juga menjanjikan proses pemberian tanah kepada Masyarakat dengan program redistribusi tanah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pembagian  dan/atau pemberian hak atas tanah yang bersumber dari TORA kepada Subjek Reforma Agraria disertai dengan pemberian sertipikat hak atas tanah.

Dimana TORA tersebut ungkap  Syahlan  adalah tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang telah dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi.

Namun untuk tanah HGB PT SPM  dan PT SW, tidak termaksud dari obyek TORA maupun redistribusi tanah, karena untuk untuk menjadikan  TORA maupun redistribusi tanah, harus ditetapkan lebih dulu oleh kementrian ATR/BPN pusat walikota tidak memiliki wewenang untuk menetapkan tanah menjadi TORA maupun redistribusi.

Dalam Perpres Nomor 62 Tahun 2023 Pasal 14 ayat (1)  “TORA  dari  non-Kawasan  Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b meliputi:

a. tanah hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai yang telah habis masa berlakunya serta tidak  dimohon perpanjangan, dan/atau tidak dimohon  pembaruan  haknya  dalam  jangka  waktu  2 (dua) tahun  setelah berakhirnya  hak  guna  usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai;.

Sementara kita ketahui bahwa PT SPM dan PT SW sejak tahun 2017 telah mengajukan perpanjangan HGB dan telah melakukan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) ke negara sehingga program  yang  dijanjikan  walikota  tersebut, lagi-lagi sebuah kebohongan kepada Masyarakat.

Begitu pula dengan  janji  Konsolidasi Tanah, jika kita mengacu pada PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2019 TENTANG KONSOLIDASI TANAH, konsolidasi tanah  adalah kebijakan penataan Kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan ruang sesuai rencana tata ruang serta usaha  penyediaan tanah untuk kepentingan umum dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Dalam pasal Pasal 10 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (5) sangat jelas bunyinya bahwa pada

ayat  (1) “Subjek Konsolidasi Tanah merupakan peserta yang  memenuhi syarat yaitu Perorangan Warga Negara  Indonesia dan/atau Badan Hukum, yang berkedudukan selaku:

a. pemegang hak; dan

b. penggarap tanah Negara.

Sementara pada ayat  (5) “Dalam hal pemegang hak/penggarap tanah tidak  bersedia mengalihkan kepada pihak lain dan tidak  bersedia untuk ikut Konsolidasi Tanah, maka dilakukan  mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Artinya bahwa kosolidasi ini harus mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah yaitu  pemilik HGB dan jika pemegang HGB tidak mau mengalihkan tanahnya dalam konsolidasi tanah tersebut, maka harus mengikuti pengadaan tanah untuk kepentingan umum sesuai yang diatur dalam  undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Yang lebih aneh menurut Syahlan, bahwa walikota tidak lagi menuntut tanah untuk kota satelit, namun iya meminta tanah seluas 45 hektar untuk Pembangunan perkantoran untuk kepentingan Masyarakat kepada  Menteri BPN terhadap tanah HGB PT SPM dan PT SW dengan megabaikan pemegang hak yaitu PT SPM dan PT SW.

“PT SPM dan PT SW tidak masalah terhadap keinginan walikota tersebut, namun walikota dalam keinginannya harus mengikut aturan hukum yakni undang-undang nomor 2 tahun 2012”, jelas Syahlan.

Walikota dan biro hukumnya harus banyak mempelajari Undang-undang pertanahan, peraturan presiden serta peraturan pemerintah dan peraturan Menteri agrarian, agar tidak terkesan mau merampok tanah Perseroan yang memiliki dasar hukum.

Syahlan juga menekankan, bahwa persoalan tanah ini  adalah merupakan masalah hukum keperdataan yakni masalah hukum  privat  bukan hukum public  artinya siapa yang merasa pernah  memanfaatkan dan menguasai tanah tersebut secara turun temurun dan memiliki alas hak yang jelas dengan tidak melawan hukum,  maka dia harus membuktikan, bukan dengan membangun narasi bagi-bagi tanah terhadap masyarakat yang  sama sekali tidak memiliki hubungan hukum dengan tanah tersebut.

Karena jika penguasaan tanah yang dilakukan itu melanggar hukum tanpa bukti yang kuat, maka pihak perusaan akan mengambil Langkah-langkah hukum terhadap orang yang mengunakan tanah tanpa hak baik secara perdata maupun pidana, tutup Syahlan.

Sebenarnya masalah tanah HGB sejak adanya surat Menteri agraria nomor : AT.02/656/V/2021 yang ditandatangani pada tanggal  17 Mei 2021 oleh Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan   Nasional Sofyan A Djalil, walikota kota Palu  Hadiyato Rasid sudah paham dengan kedudukan hukumnya, bahwa jika ingin menggunakan tanah HGB milik Perseroan haru mengikuti UU nomor 2 tahun 2012 dengan Ganti  Rugi.

“Kami tidak masalah jika walikota mau menggunakan lahan kami untuk Pembangunan, namun harus melalui  ganti  rugi”, tutup  Syahlan. (IB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *